Hari Selasa kemarin mana kepikiran saya untuk naik ke kaliurang. Bahkan berpikir merapi akan meletus sore itu pun tidak. Saya masih berpikir hura hura belajar themes blackberry sama mas deddy. Sore itu saya sudah standby di peacock cafe Mustokoweni.
Tiba tiba muncullah berita itu, merapi meletus tiga kali. Okay, pikir saya, merapi sudah biasa meletus kan? Tapi tiba tiba aliran berita di twitter membuat saya gelisah. Debu vulkanik mulai turun ke mana mana, bahkan maguwoharjo yang cukup jauh dari merapi. Malam itu saya bertekad, beli masker, lalu keliling ke daerah seturan yang memang di bawah. Ayolah, semua orang naik ke atas, perlu kan memikir yang di bawah?
Nyatanya “debu sudah sampai bawah” itu tidak seheboh pemberitaan, tidak seperti angin badai pasir yang saya bayangkan, saya berubah haluan, saya akan naik ke atas. Apapun yang terjadi.
Mas deddy membantu menyumbangkan beberapa dus masker, sedangkan saya hanya mampu beli beberapa botol obat batuk dan obat tetes mata. Lalu mas @adicahcilik dan @febrydonz yang tadi memang ikut tutorial pelatihan pembuatan themes blackberry, menghubungi saya untuk ngajak barengan. Padahal sumpah lo, saya baru kenal tadi ini, tapi seperti kata mas adi “kalo sudah seperti ini, gak perlu mikir dari blogger kek, dari komunitas anu kek, bantuan ya bantuan. Hajar!”
Kami naik ke atas, bawa obat seadanya. Barak pengungsian Hargobinangun (di Jalan Kaliurang km 20) tidak se chaos yang saya bayangkan, mungkin karena sudah jam 1 malam. Rata rata mereka sudah beristirahat, dan tidak kekurangan masker, mungkin butuh beberapa alas tidur dan selimut. Seorang ibu tiba tiba mendekati saya, “mbak, ada minyak gosok nggak? dingin…”
Ya, kita lupa bahwa di sana sangat dingin, dan minyak gosok justru jadi penting malam itu. Saya bergegas turun, membeli HANYA beberapa botol minyak kayu putih. Naif sih, di sana ada lima ribu orang, dan saya hanya mampu beli beberapa botol minyak kayu putih. Saya langsung menghubungi teman teman cahandong yang kebetulan mau bergerak ke atas.
Yang kami bantu tidak seberapa, sungguh, jika mau di rasiokan dengan jumlah pengungsi di sana. Tapi ketika melihat mereka bersyukur ada yang bawa minyak kayu putih dan pembalut, saya tercenung, mungkin kita harus lebih bijak dalam menyumbang, berikan apa yang MEREKA BUTUHKAN, bukan apa yang KITA INGINKAN.
Malam itu jam 5 pagi fajar mulai naik, saya turun ke bawah dengan perasaan membuncah. Donasi seperti ini belum selesai, banyak sekali yang dibutuhkan di atas sana, dan banyak posko posko yang mungkin tidak terjamah atau kurang publikasi. Pagi itu saya turun bersama belaian lembut sinar matahari dan tekad, saya akan ke atas lagi. Hari ini.
Selamat hari blogger kawan, seperti kata seorang teman, berbagi tak pernah rugi π Ayo bergerak untuk Indonesia, tidak hanya merapi, tapi juga mentawai, wasior dan lainnya.
turut prihatin.
sepakat dengan : “gak perlu mikir dari blogger kek, dari komunitas anu kek, bantuan ya bantuan”
apakah perlu suatu bencana agar kita tahu bahwa kita ini “satu” ?.
salam #kalem, #prayForIndonesia
I wish I was there dan bisa bantu lebih banyak.
maaf ya cuma bisa bantu dari jauh π¦
mungkin kita harus lebih bijak dalam menyumbang, berikan apa yang MEREKA BUTUHKAN, bukan apa yang KITA INGINKAN.
bener banget ini.
temen saya yg jadi relawan melaporkan kalo bantuan mie instan sudah banyak sekali,
tapi gak ada yang bawain selimut,
bahkan perlengkapan bayi π₯
kasihan anak-anak balita itu.
rasa hormat dan penghargaan tertinggi dari saya untuk para relawan, semoga diberi kekuatan dan selalu dalam lindungan Tuhan YME
salam kenal.
@oliviaindah
ijin follow ya…terima kasih
satu dari banyak bencana yang akan terus trjd di indonesia..
Pingback: Yang Setahun Merapi « +._cHoRo_.+