Yak, saya mau mereview buku sekaligus melacur, (melan melan curhat).
Jadi, beberapa hari yang lalu saya membeli bukunya Jenny Alexander yang berjudul Bullies, Bigmouths & So-Called Friends, yang diterbitkan di Indonesia menjadi “Penindas, Pembual, dan Teman Palsu” oleh Penerbi Matahati.
Ada satu kutipan yang menarik dari buku ini, ketika mereka (penindas) mendapat kecaman dari kekuasaan yang lebih tinggi dari mereka, misalnya guru atau kepala sekolah, “Kami hanya ingin bercanda, kami nggak tau kamu tersinggung” (hal 33)
Yeah yeah, joking my ass. [curhat mode : on] Saya tidak tahu, apakah dengan “mengetahui” kami (korban) tersinggung, akan menghentikan “bercanda” mereka. Ini lah yang dilakukan anak anak jaman sekarang, ngeles “kami cuma bercanda” adalah ultimate holy reason yang paling aman.
Saya pernah berdiskusi bersama seorang teman, “how much is too much?” yang kami sepakat dengan jawaban “when you can’t handle it anymore.” Tapi jika dalam standar komunikasi dua arah (iya lah, masak situ mau menindas dinding?) takaran kemampuan (dalam hal ini) bercanda memiliki tingkat yang berbeda, lalu tidak akan ada kesinambungan. Misalkan, saya menindas X. Anggap saya menyilet nyilet dadanya si X lalu si X merasa saya sudah keterlaluan, tapi bagaimana jika itu memang gaya bercanda saya? Wong saya orangnya sadistik dan keji kok. Alasan ini tidak akan terbantahkan, karena menurut perspektif saya, ini “bercanda” bukan serius. Kalau serius, mungkin saya memotong motong tubuhnya.
Maka, jika saya mendengar mereka (penindas) mengungkapkan alasan diatas, ya ya, joking my ass, kalo saya tersinggung, memang situ peduli? [curhat mode : off]
Jenny Alexander yang memang sering menerbitkan buku edukasi, dalam buku ini menegaskan, bahwa bersikap tidak peduli, cuek atau menghindari tempat penindasan bukan lah cara aman, “Gimana bisa bersikap kuat dan tegas kalau kamu ngerasa seperti agar-agar?” (hal 12)
Jenny memberi banyak saran “pintar” bagaimana menghilangkan atau mengurangi penindasan tanpa mengasihani diri sendiri ataupun berlatih tinju. Juga bagaimana meminta bantuan orang ketiga (atau, bagi bahasa mereka, mengadu) tanpa memperburuk suasana.
Ada satu bab, yaitu menendang kucing (kick at the cat; istilah teknis kalau kamu nggak berani memarahi orang yang mengganggumu sehingga kamu melampiaskan kemarahanmu pada orang lain [hal 102]), yang mengingatkan saya pada kutipan Umineko episode 25
“Your past self is right in front of you. You feel better now, don’t you? You used to be there, but now you’re over here. Isn’t this fun?!
It’s fun to torment other people like this. Isn’t it pleasant to take something that was done to you when you were weak and do it to someone who’s even weaker?!
Yes. Doing that will ease your pain. Defile it even more. Look down on her and humiliate her. Teach her the pain of having your dignity trampled on. Pain and suffering can only be healed by forcing them on someone else!”
Buku ini sangat cocok bagi remaja dan pra-remaja (eh pra-remaja itu dimulai dari usia berapa?) yang dalam usia nya banyak menemukan penindasan dan masalah masalah persahabatan yang masih kacangan. Ada satu tips dari saya, ultimate tips ketika saya SD dan dibully karena berasal dari jogja (yang buat anak jakarta itu ndeso dan norak). Jadilah pintar. Iya, bagi anda para ibu yang mungkin ketakutan anak nya akan ditindas, atau bagi kamu yang sedang ditindas, jadilah pintar dengan tenggelam di buku buku pelajaran mu itu. Saya, saat itu, ketika menjadi pintar, saya bisa melihat bahwa, mereka (penindas) hanya mau menindas kita (korban) yang terlihat lemah di mata mereka. Dengan menunjukkan kita punya “kekuatan” yang tidak bisa mereka dapatkan dan tentu saja, mereka butuhkan (dalam hal ini kepintaran), percayalah, mereka akan memohon. Yes, begging with their knees.
Jika anda tidak pintar, ya mari berdoa, semoga orang tua anda punya “kekuasaan” yang bisa bikin mereka bungkam atau para guru menjilat dan melindungi anda.